Tekanan partai Islam

June 21, 2025

Sesudah robohnya Soeharto dan pencabutan limitasi pada kebebasan memiliki pendapat di tahun 1998, kembali ada ajakan untuk membangun negara Islam dan kembalikan Piagam Jakarta.[111] Pada Oktober 1999, MPR untuk pertamanya kali mengadakan sidang untuk mengamendemen UUD 1945.[112] Selanjutnya, saat Sidang Tahunan MPR di tahun 2000, dua partai Islam, yakni PPP dan Partai Bulan Bintang (PBB), mengawali kampanye untuk menambah tujuh kata Piagam Jakarta ke Pasal 29 UUD 1945.[113] Berdasar saran ini, perumusan Pancasila di Pembukaan UUD 1945 tidak diganti.[114] Pasal 29 sendiri mengeluarkan bunyi:[115]

Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Negara jamin kemerdekaan setiap warga untuk merengkuh agamanya masing-masing serta untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya tersebut.
Politisi dari PBB M.S. Kaban menerangkan jika pandangan fraksi partainya didasari pada Dekret 5 Juli 1959. Menurut dia, dekret ini sudah menjelaskan jika Piagam Jakarta dan UUD 1945 adalah sesuatu kesatuan. Dia menolak kekuatiran jika ulasan Piagam Jakarta akan menyebabkan disintegrasi nasional.[116]

Konferensi Mujahidin Indonesia I yang diadakan pada Agustus 2000 mengatakan supaya Piagam Jakarta menjadi sisi dari undang-undang dasar dan supaya syariat Islam diterapkan sebagai hukum negara.[117] Usaha untuk kembalikan Piagam Jakarta ikut disokong oleh Front Pembela Islam (FPI). Pendiri FPI Habib Rizieq mengeluarkan sebuah buku yang dengan judul Diskusi Piagam Jakarta pada Oktober 2000. Pada buku ini, dia mengatakan jika Piagam Jakarta jadi sisi dari undang-undang dasar, ini akan membenahi sebuah kekeliruan sejarah dan menjadi dasar kepribadian yang kuat untuk negara Indonesia.[118] Rizieq memperhatikan jika Soekarno sendiri memandang Piagam Jakarta sebagai dari hasil pembicaraan yang keras di antara kelompok Islam dan berkebangsaan, dan menurut dia Soekarno sudah tanda-tangani piagam itu tanpa kebimbangan.[119] Dia menampik opini jika pengembalian Piagam Jakarta akan jadikan Indonesia sebagai negara Islam. Menurut dia, Piagam Jakarta ialah jalan tengah di antara dua kemauan yang berlainan, yakni kemauan kelompok Islam untuk membangun negara Islam dan kemauan kelompok berkebangsaan untuk membangun negara sekuler. Untuk Rizieq, penghapusan Piagam Jakarta adalah pembelotan demokrasi dan penumbangan konstitusi, yang membuat beberapa orang sedih dan bersedih. Pengembalian tujuh kata ke undang-undang dasar dipandang oleh Rizieq sebagai obat yang bisa mengembalikan hak yang sudah diambil. Sama ini, Rizieq percaya jika perselisihan ideologi di Indonesia dapat dituntaskan.[120]

Satu diantara jubir untuk Fraksi PPP, Ali Hardi Kiai Demak, mengatakan di tahun 2002 jika sebetulnya telah ada perundang-undangan yang berdasarkan syariat Islam, seperti Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974), Undang-Undang Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989), Undang-Undang mengenai Penyelenggaraan Beribadah Haji (UU No. 17 Tahun 1999), Undang-Undang mengenai Pengendalian Zakat (UU No. 38 Tahun 1999), dan Undang-Undang mengenai Penyelenggaraan Kelebihan Provinsi Wilayah Spesial Aceh (UU No. 44 Tahun 1999). Oleh karenanya, dia memiliki pendapat jika perkembangan-perkembangan ini sepantasnya diterima dengan sah dengan masukkan Piagam Jakarta ke Pasal 29 UUD 1945.[113]

Di MPR ketika itu ada sebuah fraksi yang disebutkan “Federasi Daulatul Ummah” (PDU). Fraksi ini terbagi dalam beragam partai kecil yang berhaluan Islam, yakni Partai Nahdlatul Ummat, Partai Kebangunan Ummat, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Daulat Masyarakat, dan Partai Politik Islam Indonesia Masyumi.[121] Atas tekanan dari FPI, Hizbut Tahrir, dan Majelis Mujahidin Indonesia, Fraksi PDU menuntut supaya tujuh kata Piagam Jakarta ditempatkan ke ayat ke-2 Pasal 29 UUD 1945, sedangkan yang ingin diamendemen PBB dan PPP ialah ayat pertama.[122] Selanjutnya, saat MPR melangsungkan sidang terakhir kalinya untuk mengamendemen konstitusi di tahun 2002, PBB dan PDU dengan cara resmi minta supaya tujuh kata ditempatkan ke Pasal 29.[114]